Kesalahan Niat dalam Menuntut Ilmu
oleh : Mila Muflihat
Hilangnya
niat ikhlas dalam menuntut ilmu, kini
mulai merajalela di kalangan para penuntut ilmu. Berbeda dengan para ulama dulu
yang memiliki semangat membara dalam menuntut ilmu meluruskan tujuannya hanya
untuk mencari keridhoan Allah dan menambah rasa takutnya terhadap Allah. Namun,
kini para penuntut ilmu mulai membelokan tujuannya dalam menuntut ilmu untuk
mencari kebahagiaan dunia saja. Seperti mencari gelar, pekerjaan yang layak,
dan ketenaran.
Realita kehidupan di masyarakat saat ini, banyak para penuntut ilmu
yang mulai membelokkan niatnya dalam menuntut ilmu. Sebenarnya, sebagian besar
dari mereka paham betul hakikat menuntut ilmu itu harus didasarkan hanya karena
Allah SWT semata. Namun, pemahaman ini belum bisa terealisasi secara murni.
Karena tanpa disadari, niat ikhlas yang telah kita tekadkan dalam hati masih
saja tersentuh oleh nilai-nilai duniawi seperti ingin mendapat nilai yang
tinggi, menuntut ilmu hanya untuk memenuhi tuntutan orang tua yang telah
menyekolahkan kita, atau hanya sekedar untuk mendapatkan gelar demi pekerjaan
yang menjanjikan. Inilah faktor-faktor hilangnya kemurnian niat dalam menuntut
ilmu yang masih banyak melekat pada kita sebagai penuntut ilmu.
Sistem pendidikan yang mengutamakan angka-angka (nilai) sebagai standar
kesuksesan dalam proses pembelajaran para siswa, sedikit-sedikit telah
membelokkan motivasi mereka dalam menuntut ilmu. Mereka tidak lagi memahami
urgensi dalam menuntut ilmu, melainkan disibukkan dengan mengejar nilai yang
sebesar-besarnya. Ditambah lagi dengan dorongan para orang tua mereka yang
memberikan motivasi yang keliru, “belajar yang rajin ya, bia hasil ulangannya
bagus dan jadi juara satu.”
Maka tidak heran ketika banyak terjadi kecurangan-kecurangan para
siswa dalam mengerjakan ujian. Mereka menghalalkan segala cara demi mendapatkan
hasil yang baik sesuai target yang diberikkan orang tua maupun gurunya. Mereka
mencampurkan dua hal yang bertolak belakang antara ilmu yang berupa kebenaran dengan kecurangan
yang merupakan maksiat. Padahal, sesuatu yang bertolak belakang itu tidak dapat
disatukan.
Ilmu itu nur atau cahaya.
Suatu hari, Imam syafi’i mengadu kepada salah satu gurunya, ia
mengaku bahwa ia sedang kesulitan dalam menghafal. Mendengar pengakuan Imam
Syafi’i, gurunya menasehati Imam Syafi’i agar menjauhi kemaksiatan, karena
sesungguhnya ilmu itu cahaya (petunjuk Allah) yang tidak akan pernah diberikan
kepada orang-orang yang bermaksiat.
Jadi, hakikat ilmu itu bukanlah
sekadar pengetahuan atau kepandaian yang dapat dipakai untuk memperoleh
sesuatu, tetapi merupakan cahaya (nûr) yang dapat menerangi jiwa untuk berbuat
dan bertingkah laku yang baik. Mencari ilmu dengan tujuan untuk menambah
ketaqwaan atau khasyyah kita kepada Allah. Allah SWT berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ
عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ
“Sesungguhnya
yang takut kepaada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah ulama.” (QS. Fathir :
28)
Karena ilmu itu adalah nur yang berupa petunjuk Allah dan bersifat suci,
maka cara kita menggapainya pun harus dengan cara yang mulia tanpa ada noda
maksiat yang mengiringinya. Kita harus membulatkan tekad kita dalam menuntut
ilmu hanya untuk mencari keridhoan Allah semata. Allah telah menjanjikan bagi
para penuntut ilmu itu surga. Dalam hadits dikatakan, Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ
طَرِيْقًا إلَى الجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menggapai ilmu, maka Allah
memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Abu Daud, At
Timridzi, Ibn Hibban, dan Al Baihaqi, dari sahabat Abu Darda ra)
Tidak ada komentar