Bukan Zamannya Siti Nurbaya
Ini memang bukan zamannya Siti
Nurbaya. Zaman yang mana seorang anak dipaksa menikahi dengan orang yang tidak
disukai. Tapi empat kalimat ini malah membuat kebanyakan para orang tua
tertekan oleh anak-anak mereka sendiri. Akhirnya mempersilahkan anak-anak
mereka dengan orang pilihan mereka sendiri. Padahal mencarikan jodoh untuk
anaknya merupakan kewajiban orang tua.
Jika kita melihat sirah nabawiyah, tak
sedikit para shahabat dan shahabiyah menikah justru karena dijodohkan oleh
Rasulullah. Ada kisah Bilal dan Halah binti Auf, atau kisah Fatimah binti Qais
dan Usamah bin Zaid. Ada pula kisah perjodohan Julaibib yang tak kalah
indahnya.
Julaibib, Wajahnya jelek terkesan sangar. Pendek.
Bungkuk. Hitam. Fakir. Kainnya usang. Pakaiannya lusuh. Kakinya pecah-pecah tak
beralas. Tak ada rumah untuk berteduh. Tidur sembarangan berbantalkan tangan,
berkasurkan pasir dan kerikil. Tak ada perabotan. Minum hanya dari kolam umum
yang diciduk dengan tangkupan telapak. Begitu Salim A. Fillah menggambarkan
Julaibib pada sebuah tulisannya.
Penulis buku
“Nikmatnya Pacaran setelah Pernikahan” ini mengabadikan kisah Julaibib di dalam
blognya. Pemuda yang tak bernasab dan bersuku ini tinggal di shuffah Masjid
Nabawi. Suatu hari ditegur oleh Sang Nabi, Shallallaahu ’Alaihi wa
Sallam. ”Ya Julaibib, Tidakkah engkau menikah?”
”Siapakah
orangnya Ya Rasulallah yang mau menikahkan putrinya dengan diriku ini?” Jawab
Julaibib.
Hari berikutnya,
ketika bertemu dengan Julaibib, Rasulullah menanyakan hal yang sama. ”Wahai
Julaibib, tidakkah engkau menikah?” Dan Julaibib menjawab dengan jawaban yang
sama. Begitu, begitu, begitu. Tiga kali. Tiga hari berturut-turut.
Dan di hari
ketiga itulah, Sang Nabi menggamit lengan Julaibib kemudian membawanya ke salah
satu rumah seorang pemimpin Anshar. ”Aku ingin menikahkan puteri kalian.” kata
Rasulullah pada si empunya rumah.
”Betapa indahnya
dan betapa berkahnya”, begitu si wali menjawab berseri-seri, mengira bahwa Sang
Nabi lah calon menantunya. ”Ooh.. Ya Rasulallah, ini sungguh
akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram dari rumah kami.”
”Tetapi bukan
untukku”, kata Rasulullah. ”Kupinang puteri kalian untuk Julaibib.”
”Julaibib?”,
nyaris terpekik ayah sang gadis.
”Ya. Untuk
Julaibib.”
”Ya Rasulullah”,
terdengar helaan nafas berat. ”Saya harus meminta pertimbangan isteri saya
tentang hal ini.”
”Dengan
Julaibib?”, isterinya berseru. ”Bagaimana bisa? Julaibib yang berwajah lecak,
tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah
tidak. Tidak akan pernah puteri kita menikah dengan Julaibib. Padahal kita
telah menolak berbagai lamaran..”
Perdebatan itu
tak berlangsung lama. Sang puteri dari balik tirai berkata anggun. ”Siapakah
yang meminta?”
Sang ayah dan
sang ibu menjelaskan.
”Apakah kalian
hendak menolak permintaan Rasulullah? Demi Allah, kirim aku padanya. Dan demi
Allah, karena Rasulullah lah yang meminta, maka tiada akan dia
membawa kehancuran dan kerugian bagiku.”
Dan Sang Nabi
dengan tertunduk berdoa untuk sang gadis shalihah, ”Allahumma shubba ‘alaihima
khairan shabban.. Wa la taj’al ‘aisyahuma kaddan kadda.. Ya Allah,
limpahkanlah kebaikan atas mereka, dalam kelimpahan yang penuh berkah.
Janganlah Kau jadikan hidupnya payah dan bermasalah..”
Sungguh kisah
perjodohan yang indah. Jadi perjodohan masa sekarang masih sangat relevan,
karena sudah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Mahar)
Tidak ada komentar