Suriah Kids
Malam itu dingin menusuk tulang.
Bukan. Bukan karena musim dingin datang akan tetapi sudah tak ada lagi bangunan
untuk berteduh di kala malam. Sepi. Hampa entah kemana orang-orang. Dentuman keras
itu memekakan telinga. Aku lari.. berlari sekuat tenaga.. lari mencari bangunan
yang bisa dijadikan tempat berindung. Sakit.. sakit sekali telingaku ini ada
apa ini? Akhirnya rasa sakit itu aku pendam dan kuhilangkan dengan tidur
dibalik puing-puing bangunan. Dingin tak ada selimut hanya beralaskan tumpukan
bebatuan. Sendirian. Mencoba menutup mata sekuat tenaga hatiku berkata semoga
hari esok keadaan membaik.
Sorotan cahaya itu membangunkanku.
Ku membuka kedua mataku. Sekelompokan orang itu menghampiri ku dan salah satu
dari mereka berkata “Dia bergerak. Dia masih hidup. Alhamdulillah… Alhamdulillah.”
Aku terkulai lemas diangkat oleh sekelompok orang itu entah dibawa kemana. Saat
aku membuka mata ruangan ini penuh dengan alat medis. Ku coba bangkitkan tubuh
ini. Arrgh sakit sekali. Ku coba kedua kali. Ah tetap tak bisa. Saat ku lihat
aku sekitar, semua orang sibuk. Sibuk mengurus anak-anak yang meronta
kesakitan. Berdarah. “ummi.. ummi.. abi.. abi..” anak kecil itu menangis tak
henti-hentinya. Aku tahu apa yang dia rasakan. Pasti sakit sekali. Luka itu
terlihat parah. Kakinya terbakar terkena percikan bom. Hati ini bingung, gundah
dan gelisah. “Kau sudah aman sekarang nak, tak usah takut” dia tersenyum sambil
mengusap kening ku. Telinga ku sakit sekali rasanya. Akupun menyentuhnya yang
sudah terbalut dengan perban. “Tak apa nak, lukamu tak begitu serius. 3 hari
kedepan sudah bisa dibuka perbannya.” Ucap sosok itu sosok yang menyorotkan
cahaya kemata ku sewaktu di puing-puing bangunan.
Hari ini perbanku dilepas. Aku tidak
merasa bahagia, biasa saja. Aku berjalan menuju tepi sungai dekat posko. Mengingat
hal itu. Menangis. Ya. Suatu sore yang cerah aku bermain bersama ummi, abi dan
adikku di rumah. Adik tertawa-tawa karena guyonan abi. Ummi lebih memilih
membuatkan kami kue kering di dapur. “Ummiii.. kuenya sudah siap belum? Kami mulai
lapar..” teriak adik sambil cekikikan. “Kuenya sudah jadi..” ummi menghampiri
kami bertiga di ruang keluarga. “Dasar anak sholehah.. pintar makan” ledek ummi kepada adikku yang
manja ini. Lepas kami makan, adzan maghrib pun berkumandang. Kami bergegas
untuk sholat maghrib. Seperti biasa aku dan abi sebagai seorang laki-laki
melaksanakan sholat di masjid. Sebelum berangkat adik teriak “kakak.. usai
sholat maghrib beli ice cream yaa…” anak itu memang selalu begitu. Usai sholat
maghrib aku berniat mampir ke supermarket terdekat. Membelikan ice cream
untukku dan adik. Abi rupanya sudah pulang duluan ke rumah. Selagi asik memilih
ice cream tiba-tiba dentuman keras berbunyi. Aku terkejut dengan suara itu. Ice
yang kupegang ku jatuhkan begitu saja dan aku berlari secepat mungkin menuju
satu tujan. Rumah. Ummi.. abi.. adik.. tak ada yang tersisa. Hanya puing-puing.
Entah aku teriak sekuat tenaga, mencoba lagi. Ummi… abi… dimana kalian? Menahan
air mata. Tapi akhirnya jatuh juga. Ummi abi dan adik hilang entah apakah sudah
mati atau masih ada. Kini aku sendiri duduk di tepi sungai.
Tidak ada komentar