Our Memories
Oleh : Mila Muflihat
Pada
keadaan seperti inilah para santri diperbolehkan untuk meninggalkan pondok dan
mengungsi mencari air ke tempat-tempat terdekat sekedar membersihkan badan atau
keperluan lainnya. Dan saat kesempatan itu kami gunakan untuk mengungsi ke
rumah teman kami yang lokasinya tidak jauh dari Pesantren. Sebelum berangkat,
pihak pesantren sudah memberikan amanah untuk berhati-hati dan segera kembali
jika kepentingn kami sudah selesai.
Kehidupan
Pesantren memberiku berbagai kejutan yang menyenangkan. Meski
perjuangan-perjuangan berat yang harus kulalui bersama Barudak (panggilan akrab
kepada teman), tapi karena kita melalui semuanya secara bersama-sama, kesulitan
itu menjadi tantangan yang menyenangkan bagi kami. Dengan tantangan-tantangan
itu kami mampu berbagi kesulitan untuk dipecahkan bersama-sama dan berbagi
kebahagiaan pula yang semakin mempererat kebersamaan kami.
Keadaan
yang sudah tidak asing bagi setap kehidupan di Pesantren baik Pesantrenku maupu
pesantren-pesantren yang lain adalah krisis air karena banyaknya pengguna air
dalam setiap waktu. Namun hal ini bukanlah kecemasan semata bagi aku dan
Barudak, justru dibalik keadaan yang menyebalkan ini ada setitik kebahagiaan
yang mampu kami ciptakan.
“Barudakkkkk...
ngga ada air. Seperti biasa, kita mulai beraksi.” Teriak Mona, salah satu
temanku yang datang ke asrama dengan nafas yang terengah-engah karena
berlari-lari menuju asrama demi mengabarkan info menarik ini.
Akhirnya
kami berangkat menuju rumah kawan kami Risma.
Sesampainya
di rumah Risma, kami disambut baik oleh ibunda Risma yang memang sudak akrab
bersama aku dan barudak yang sering berkunjung ke rumah Risma. Sambil mengantri
mandi, kami melakukan aktivitas-aktivitas seperti menonton televisi, membaca
buku, ngobrol, dan lain-lain.
“Ris,
depan rumahmu itu warnet ya?” tanya Windy.
“oh
iya, itu warnet win. Kenapa?” Jawab Risma.
“Aku
mau ngerjain tugas nih mumpung giliran mandinya masih lama. Aku kesana dulu ya
Ris.” Jawab Windy yang segera beranjak pergi ke warnet.
Karena
Barudak yang lain merasa jenuh menunggu antrian mandi, akhirnya satu persatu
dari kami mulai mengikuti jejak windy pergi ke warnet dengan kesepakatan jika
ada yang ingin membuka akun Facebook, diwajibkan untuk mengoffline obrolannya
agar pihak pesantren tidak tau kalau kami pergi ke warnet.
Hingga
waktu isya tiba, setelah aku dan barudak sholat isya, kami pamit pada ibunda
Risma untuk kembali ke pesantren. Dengan dibekali berbagai makanan yang
diberikan ibunda Risma, kami akhirnya pulang ke Pesantren dengan perasaan yang
biasa saja seperti tidak ada kesalahan apapun yang telah kami lakukan.
Malam
itu kami beraktivitas seperti biasa lagi, belajar malam, hafalan Qur’an dan
istrirahat tidur untuk memepersiapkan hari esok.
Kebahagiaan
datang ketika kami bangun dan mendapati air di kamar mandi sudah mengalir
seperti semula. Namun, situasi ini tidak bertahan lama. Karena selepas para
santri melaksanakan shalat shubuh, tiba-tiba pembina kami mengumpulkan kami di
aula tempat kami biasa berkumpul untuk mengumumkan informasi penting atau
melangsungkan acara-acara tertentu. Tapi suasana kali ini terasa berbeda karena
kami mendapati para pembina dengan raut muka yang tidak biasanya. Dan ternyata
memang dugaan kami benar, kumpulan ini diadakan karena ada suatu pengumuna n
tentang adanya pelanggaran yang
dilakukan oleh santriwati. Sontak aku dan barudak merasa takut karena kaami
menduga ini ada sangkut pautnya dengan pelkanggaran yang semlam kami lakukan
yaitu pergi ke warnet.
“Assalamualaikum.
Disini saya tidak akan basa-basi lagi, langsung saja pada intinya. Kalian tau
kenapa kalian dikumpulkan?” ucap salah
satu pembina dengan suara yang tegas.
Para
santriwati hanya terdiam dan menundukkan kepala.
“silahkan
ke depan yang merasa kemarin ketika keluar untuk mengungsi mandi malah pergi ke
warnet!” perintah pembina kami dengan nada yang tak kalah tegas dari
sebelumnya.
Jleb.
Ternyata benar dugaan kami. Aku dan barudak hanya bisa saling berpandangan
untuk menentukan langkah apa yang harus kita lakukan. Akhirnya dengan keberanian
yang ada, kami putuskan untuk maju bersama kedepan untuk mengakui kesalahan
kami.
Namun
pembina kami merasa heran ketika kami bersama-sama maju kedepan.
“loh,kalian
kenapa?kalian melangar apa ini?” tanya pembina kami dengan wajah bingung.
Kami
saling berpandangan dan bingung dengan pertanyaan yang diajukan ustadah Dini.
Salah satu dari kami pun berbicara tentang apa yang terjai semalam.
“
kami pergi ke warnet semalam ustadah. Soalnya waktu itu kita ngantri mandinya
lama, dan kebetulan rumah Risma berdekatan dengan warnet. Jadi kami pergi
kesana sambil menunggu giliran mandi.” Ucap hanifa.
“masyaAllah.
Kalian ini kelas berapa? Baru juga satu tahun di asrama sudah berani-beraninya
melanggar aturan pesantren. Dikasih kesempatan buat mandi keluar malah pergi ke
warnet! Jujur disini sebenarnya bukan kalian yang saya maksud. Saya menemukan
santri lain yang pergi ke warnet dan membuka akun facebook disana. Silahkan,
sebelum saya menyeret santri itu ke depan, ada yang mau jujur?” jawab ustadah
Dini panjang lebar.
Aku
dan Barudak semakin bingung dengan ucapan ustadah. Ternyata bukan kami yang
ustadah Dini maksud pergi ke warnet, alangkah menyesalnya kami maju kedepan dan
mengakui semua ini. Namun, nasi sudah menjadi bubur, kami pun berpasrah untuk
mendapatkan hukuman dari pihak pesantren. Dan ternyata yang dimaksud ustadah
pergi ke warnet itu bukan kami melainkan kakak kelas kami yang kepergok ustad
Putera saat akan masuk ke warnet.
Keesokan harinya, aku dan barudak
pergi ke kelas dengan jilbab berwarna warni yang menandakan kami sedang
menjalani hukuman. Jilbab dengan warna yang sangat mencolok dengan tulisan “ i
am an offender of security. don't follow me”. Tak hanya itu, kami juga mendapat
hukuman tidak mendapat izin keluar pondok selama satu bulan penuh. Hari itu,tak
ada keceriaan yang terlihat diantara kami, menyesal sudah pasti, namun ini
memang harus kami jalani karena ulah kami sendiri.
Namun, kesedihan memang tak pernah
ingin berlama-lama untuk singgah dalam kehidupanku dan barudak. Hari kedua
dalam menjalani hukuman ini, keceriaan kami sudah muncul kembali menghiasi
langkah kebersamaan kami. Hukuman yang kami dapatkan ini memang tak mungkin
akan terus kami ratapi selama sebulan penuh. Kini kami kembali bersemangat
untuk melangkah bersama melewati hari dengan saling merangkul dan berpegang
erat melewati rintangan-rintangan yang ada. Kami jalani hukuman ini dengan
penuh keikhlasan dan mengambil hikmah dari kejadian ini untuk tidak kami
ulangi.
Lima tahun kemudian..
Kejadian kebersamaan kami pada lima
tahun lalu kini hanya menjadi sebuah cerita yang menghadirkan kerinduan setiap
kali aku mengingatnya. Terkadang air mata pun perlu mengiringi kerinduan ini
pada barudak.
Kini,
langkah sudah tak mampu untuk kami
lewati dengan rangkulan dan genggaman bersama. Kehidupan yang terpisahkan oleh
jarak membuat kerinduanku pada barudak semakin hari semakin memuncak. Ada rasa
rindu yang teramat dalam ingin bertemu dan kembali berkumpul bersama barudak
yang selalu memberikan goresan-goresan kebahagiaan dalam hidupku.
Teringat
masa-masa kebersamaan di pondok saat air mataku terhapuskan oleh senyuman
barudak, kegelisahanku tersingkirkan oleh tawa kebahagiaan mereka, dan
keterpurukanku yang tergantikan menjadi semangat berjuang berkat genggaman erat
tangan mereka.
Kami
berpisah untuk mengejar cita-cita kami masing-masing. Kelak, kami ingin
berkumpul dengan berbagi cerita kesuksesan yang akan kembali menggoreskan tinta
kebahagiaan pada hidup kami.
Kenangan terindah adalah masa saat tanganku dan tanganmu saling
menggenggam memberikan semangat dan memahami arti kebahagiaan dalam hidup ini..
Tidak ada komentar