Untuk Siapa Ibadahku?
“Fikri.. nak bangun nak..” Ibu menggoyang-goyangkan tubuh ku yang
sedang terbaring diatas kasur. “Nak, Subuh ini udah hampir lewat setengah jam.
Sudah setengah enam. Kamu ini..” ucap ibu. Perlahan aku mencoba untuk bangkit. Meluruskan
tulang-tulang ku. Seketika aku kaget dan mataku terbelalak. Aku meraih
kacamataku di meja samping tempat tidur “Hah? Sudah jam setengah 6? Bisa telat
kerja nih.”
cemasku dalam hati. Akupun
bergegas mengambil handuk dan meluncur mandi. 15 menit kemudian aku
telah rapih mengenakan kemeja lengkap dengan dasi dan sepatu yang sudah melekat
di kaki. “Dan sekarang, tinggal sarapan deh” ucapku. Ibu sudah menghidangkan
nasi goreng kesukaanku di meja lengkap dengan kopi hangat. Ibu menoleh kearahku
dan berkata, “Eh anak ibu yang paling ganteng sudah rapih ya nak. Ayo makan ini
sudah ibu siapkan.” Karena terburu-buru aku tanpa basa-basi langsung menyuapkan
nasi goreng ke mulutku. Belum mendarat ke lidah ibuku tiba-tiba melotot dan
berkata, “Eits.. Fikri kamu sudah sholat Shubuh nak?” Sontak aku terbelalak.
“eh.. eh.. anu bu.. lupa” jawab ku sambil menyengir. “Kamu ini! Sholat cepat!”
bentak ibu. “Loh bu. Udah siang memang bisa? Lagi pula aku mau ke kantor nanti
telat.” Ucapku. “Tidak.. tidak.. pokoknya sekarang lepas sepatu kamu wudhu lalu
sholat.” Ibu berkata dengan nada tinggi. Akhirnya, akupun bergegas sholat
shubuh. Ya. Seperti biasa sholat kilat. Belum 5 menit selesai. Karena kesal
dipaksa sholat oleh ibuku aku tak berniat pamit. Aku langsung berangkat ke
kantor tanpa sarapan.
Ibu memang sangat dekat denganku mungkin ini karena aku anak
tunggal. Apapun kejadian dalam hidupku aku pasti menceritakan kepada ibuku.
Sedangkan ayah sudah meninggal sejak umurku 8 tahun karena kecelakaan kerja
saat bertugas di luar kota. Aku juga tidak mengerti bagaimana kronologis
kematian ayah. Yang aku tahu, polisi memutuskan untuk mengubur kasus ini
dalam-dalam. Aku yang waktu itu masih anak-anak tidak mengerti dan ibu yang
juga seorang janda yang tak berharta ini hanya bisa diam. Ibu mencoba untuk
menanyakan kasus ini ke rekan kerja ayah pak Sandi. Namun, pak Sandi hanya bisa
bungkam. Kini aku harus menjadi tulang punggung keluarga. Berat memang. Tapi
mau dikata apa lagi inilah takdirnya. Sejak ditinggal ayah aku berubah. Dulu
memang aku rajin sekali sholat berjama’ah di masjid. Bahkan tahajjud pun aku
tak pernah bolong. Ayah yang selalu membangunkanku di kala hawa dingin
menyerbu. Ayah tak pernah kenal lelah. Padahal ayah pulang kantor sudah larut
malam. Itulah ayahku. Namun, kini ayah telah tiada. Entah mengapa diriku
tiba-tiba saja berubah. Kesibukan kerja mengubah segalanya. Sekarang, sudah
syukur aku sholat lalai. Biasanya dalam 5 waktu saja aku sulit. Aku sadar kalau
diri ini sudah mengeras hatinya. Aku lebih mengejar uang,uang dan uang saja.
Dunia terus saja menghimpitku. Belum lagi kantor tempat aku berkerja ini kurang
memberikan fasilitas baik untuk tempat beribadah. Ya. Kantor aku dimana aku
bekerja ini hanya memberikan ruangan petak 2x2 meter untuk sholat. Keran wudhunya
pun jika kurang beruntung airnya tersendat-sendat. Memang untuk menjadi insan
yang baik dan menjalankan perintah-Nya itu tak mudah.
Waktu makan siang datang ya. Hanya setengah jam saja waktu yang
cukup untuk mengisi perut kosongku di kantin kantor. Lagi-lagi aku tak
menghiraukan adzan dzuhur. Saat itu dipikiranku hanyalah lapar, lapar dan
lapar. Bersama Hasan dan Arief aku biasa makan. “Bu.. mie ayamnya 3 ya. Tidak
pakai sawi satu.” Teriak Hasan kepada ibu kantin. Arief memang tidak suka
sayuran. Dia berpikir sayuran itu tidak
ada rasanya di lidah. Tak heran wajahnya begitu pucat dan mempunyai kantong
mata yang hitam pekat. Sama seperti aku,
Hasan dan Arief juga tidak mempunyai jiwa yang religius. Mereka juga sering
lalai dalam menjalankan ibadah sholat lima waktu. Jadi, kami lebih memilih
menghabiskan 30 menit kami untuk makan ketimbang sholat dzuhur di mushola petak
itu. Aku melihat ke arah jam stasiun, pulang kantor tepat jam 6. Ini saatnya
sholat maghrib. Tapi, yang aku lakukan adalah berdesak-desakan di kereta dalam
perjalanan pulang. Aku lebih memilih kereta ketimbang naik motor karena selain
murah, akses kereta sangat terjangkau dengan perusahaan tempatku bekerja.
Sampai dirumah pukul 8 malam. Ya. Benar sekali. Waktu dholat maghrib sudah habis.
“Assalamu’alaikum ibu.. aku pulang!” teriakku. “Oh ya.. wa’alaikumussalam..
Fikri pasti kamu lelah ya nak. Cepat ganti pakaian ya. Selepas itu sholat
Isya.” Ucap ibu. Untuk sholat Isya’ memang aku terbilang rajin.
Malam ini seperti malam biasanya. Ibu menjahit pakaian untuk dijual
di salah satu butik di pasar. Dan aku membaca buku serial kesukaanku karena
malam ini tak ada tugas dari kantor. Tanpa terasa waktu sudah menunjukan 11
malam. Sepertinya ibu juga sudah tertidur pulas di kamar. Segera aku menuju
kamar melepas kacamataku lalu tidur. Pagi ini, entah aku terbangun. Ku raih
kacamata dan melihat ke arah jam dinding. “Hah? Baru pukul setengah tiga pagi?”
aku kaget. Tiba-tiba perutku berbunyi. Dan baru saja aku teringat sebelum tidur
tadi malam aku makan cemilan sangat banyak mungkin ini efek dari makan terlalu
banyak sebelum tidur.
Akupun turun dari ranjang lalu berjalan menuju dapur.
Lapar. Aku membuka kulkas dan masih ada bolu buatan ibu. Tanpa basa-basi aku melahapnya.
Tidak butuh waktu yang lama, cukup 5 detik saja bolu ini sudah masuk ke dalam
kerongkonganku. Segera aku ambil segelas air putih lalu minum. “eeeeeeerrgh..”
aku bersendawa. “hah baru jam 3. Tidur aja lagi ah..” pikir ku. Aku memutuskan
untuk kembali ke kamar. Saat aku berjalan menuju kamar tiba-tiba saja aku
mendengar suara tangisan perempuan. Dalam sekejap bulu kudukku naik. Aku
merinding. “iiiiiih apatuh.. jangan-jangan....” pikirku. Akan tetapi hati ini
berkata lain. “Ah coba lihat barang kali maling.” Aku berpikir ulang. Ternyata
suara itu berasal dari kamar ibu. Pintu kamar ibu sedikit terbuka. Semakin aku
mendekat semakin jelas saja suara tangisan itu. Aku mengintip. Benar saja! Itu
ibu yang menangis. Ibu menangis dalam do’anya. Rintihan itu, membuat hatiku
tersentak. Ibu mendo’akan aku. Tiba-tiba aku teringat ayah. Ayah yang selalu
memercikan air ke wajah. Aku berbalik badan. Malu. Ya, malu pada diriku sendiri
yang tak pernah mendo’akan ibu. Padahal ibu selalu mendo’akan aku disetiap
sepertiga malamnya.
Tok.. tok.. tok.. ibu mengetuk pintuku. Ibu berkata “Nak.. Fikri..
ayo nak bangun kamu telat nanti ke kantor..” Dengan cepat aku membuka pintu
kamarku. Ibu sontak kaget. “Fikri? Kamu sudah rapih nak.” Aku hanya membalas pertanyaan ibu dengan anggukan
dan senyuman. “Hari ini aku harus berubah.” Tekadku dalam hati. Setidaknya aku
harus bersyukur kalau aku sudah menjalankan sholat Shubuh tepat waktu.
Sepanjang perjalanan aku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menghabiskan
waktu dengan maksimal agar cukup untuk makan siang dan sholat Dzuhur. Sampai di
kantor jam istirahat pun datang. “Rief, San.. kalian duluan saja. Ada hal yang
harus aku selesaikan.” Aku berkata kepada mereka berdua. “Oh gitu sob.. oke..”
Ucap Arief. Akhirnya aku memutuskan untuk
bergegas ke Mushola kantor. Air disini begitu tersendat-sendat. Keran airnya
pun hanya dua buah saja. Sayang sekali untuk 300 orang karywan yang kerja
disini. Selepas mengambil air wudhu aku memasuki ruangan 2x2 meter itu. Sungguh
pengap. Walaupun yang sholat Dzuhur hanya satu dua saja. Selesai sholat aku
melihat ada seorang wanita yang sedang merapihkan hijabnya. Rupanya ia juga
baru saja selesai sholat Dzuhur. Aku terus memperhatikannya. Mengapa? Ah dia
sungguh anggun dan menawan dengan hijabnya itu. Keluar mushola
aku mengambil sepatu. Ternyata wanita itu juga bersamaan mengambil sepatu dan
pundak kami bersentuhan. Sontak dia kaget. “eh.. eh.. maaf mbak..” ucapku
dengan gagap terkesima melihat kecantikannya sedekat ini. “Oh.. iya gapapa.”
Katanya dengan mata tak berani menatap.
Aku jalan
menuju meja kerja. Entah mengapa aku sepanjang perjalanan memikirkan dia. Ya.
wanita itu. Dia? Wanita itu, wanita secantik itu kerja di kantor ini. Kenapa
aku baru mengetahuinya. Kenapa tidak dari dulu. Kalau saja dari dulu aku
mungkin akan lebih rajin sholat Dzuhur di mushola kantor. “Ah sudahlah,
pekerjaan masih numpuk gini..” pikirku. “ah tapi siapa ya namanya?” tanyaku
dalam hati.
“Ibu aku
pulang.. Assalamu’alaikum..” ucapku. “Wa’alaikumussalam nak..” jawab ibu. Aku
langsung meletakkan sepatu di rak dan menyalin baju tidur. Saat aku sedang
bersandar di sofa tiba-tiba saja ibuku bertanya, “Loh fikri.. kok kamu pulang
malam sekali nak? Ada rapat ya?” aku menjawab, “em.. iya bu.. tadi ada urusan
sebentar jadi lembur..” Sebenarnya yang aku lakukan itu sholat Maghrib
dikantor. Dan mau tidak mau aku harus ketinggalan kereta jadwal pertama yang
datang pukul 6 sore lewat 15 menit. Akhirnya aku harus rela naik kereta yang
datang pukul 7 malam lewat 30 menit. Ya lumayan. Bisa sholat Isya’ di stasiun.
Sehari, dua hari, sepekan pun berlalu. Aku melewati hari-hari dengan
menjalankan sholat lima waktu. Rasanya sungguh membahagiakan. Hatiku tenang.
Hari kedelapan aku terus mencoba untuk mengistiqomahkan diri ini. Waktu istirahat
makan siang pun datang. Seperti biasa aku memilih membawa bekal sejak aku
memutuskan untuk sholat Dzuhur di mushola kantor. Ya. Aku sholat dan aku
bertemu dia. “MasyaAllah..” puji ku dalam hati. Rasa-rasanya aku menemukan
sesuatu yang berbeda. Bisa dibilang sambil menyelam minum air. Sudah dapat
pahala dapat jodoh pula.
Arief dan Hasan
kini sungguh berbeda. Mereka kini jauh dariku. Aku tidak bisa membayangkan
kenapa hal ini bisa terjadi. Mereka enggan menyapaku seperti dulu. Hasan sempat
bertanya mengapa aku tidak mau makan siang bersama lagi seperti dulu, namun
Hasan mengerti pilihan aku untuk menaati perintah Allah ta’ala. Ya, menjalankan
sholat 5 waktu. Hingga akhirnya hari ini Arief mengajakku berbicara. “Kri, gue
sekarang tau kenapa lu lebih milih menghabiskan waktu istirahat lu itu ke
mushola, hayolah kenapa gak cerita-cerita si kri.. kita kan temen lu dari awal
lu kerja disini juga.” Aku tak mengerti apa yang Arief pikirkan. Wajahku
mendadak kebingungan. Hasan menimpali, “Iya kri.. gue kira lu beneran tobat, eh
ternyata... ada udang dibalik batu..hahaha!” “Loh maksud lu pada apaan sih? Gue
jadi bingung deh?” Jawabku dengan bingung. “Haha, udeh ngaku aje lu.. kan elu
sengaja kan sholat terus PDKT sama si Nurul?.” “Nurul? Siapa dia?” tanyaku. “Wah,
lu tiap hari ngobrol tapi gak tau namanya? Sadis juga lu ya!” goda Hasan.
“Iye.. gue mergokin elu tiga hari ini.. dan ternyata gue liat elu suka duduk di
tangga deket mushola sama si Nurul..” Arief menambahkan. Oh ternyata namanya
Nurul.
Ya memang aku tak pernah mempunyai keberanian untuk bertanya namanya,
sejak awal pertemu aku memang sering mengajaknya berbicara. Hanya sebatas
urusan kantor. Tidak lebih. Aku belum mempunyai keberanian untuk bertanya
namanya. Tapi mereka benar. Aku semakin semangat sholat di mushola karena dapat
bertemu dengannya setiap hari. Melihat senyumannya merekah. Ah, sangatlah
indah. “Hey, sob..” Hasan menepuk pundakku. Lalu berkata, “Lu tapi berani juga
ya? dia itu, anak bos kita disini. Pak direktur utama. Iya pak Indra Wardhana.
Gak ada lho yang berani deketin dia apalagi ngajak ngobrol.” Seketika aku
pasrah. Pupus sudah harapanku aku mencintai orang yang salah. Apalah aku hanya
manusia biasa harta saja tak punya. Hari demi hari aku lewati ternyata Nurul
sangat baik hati. Dia juga terlihat nyaman saat bersamaku. Kami sering makan
siang bersama lepas sholat Dzuhur. Aku semakin dekat dengannya. Mungkin besok
aku akan menyatakan perasaan ku ini.
Malam itu aku
pulang ternyata ada sosok laki-laki paruh baya datang kerumah. “Ada apa
gerangan?” Tanyaku dalam hati. Aku menyapanya, “Assalamu’alaikum bapak..” lalu laki-laki itu berkata “Wa’alaikumussalam
nak.. wah ini Fikri ya, sudah besar ya, sudah ganteng sekali. Mirip ayahmu..”
suara itu.. ya. Suara itu adalah suara pak Sandi. Ada apa gerangan beliau malam-malam seperti
ini datang ke rumah. Apakah pak Sandi akan membahas kematian ayah? Tapi kenapa
tiba-tiba seperti ini? Ibu datang membawakan secangkir teh hangat untuk pak
Sandi. Ibu pun berkata, “Baguslah nak, kamu sudah pulang.. mari pak Sandi
dilanjutkan ceritanya.” Pak Sandi pun
melanjutkan ceritanya. “Iya beliau sebelum wafat alhamdulillah diberikan
kenaikan pangkat sebagai managerayahmu itu.. orang yang sangat taat dalam
menjalankan ibadah. Kapanpun dan dimanapun. Tidak ada rapat jika masuk waktu
sholat. Ya, benar memang saat itu kami sangat menyeganinya. Walaupun kami tetap
rekan kerja bagi beliau. Jarang sekali menemukan sosok seperti beliau. Hingga
pada akhirnya, dia datang ya. Orang itu yang mengambil alih perusahaan kami.
Menjabat sebagai direktur utama perusahaan.
Sepertinya dia tidak suka dengan ayahmu itu nak.” Pak Sandi menghela
nafas. Aku sangat serius menanggapi cerita beliau. Pak Sandi melanjutkan,
“Sudah pak direktur tidak suka dengan ayahmu ditambah lagi dengan beliau
menganggap ayahmu itu sok alim. Sok rajin ibadah. Berbeda sekali dengan pak
direktur yang suka sekali melalaikan sholat.
Pak direktur tetap memerintahkan
kami untuk melaksanakan rapat di saat waktu sholat. Ayahmu lebih memilih sholat
dan tidak ikut rapat. Kami semua mengetahui kalau pak direktur sangat tidak
menyukai ayahmu nak. Hingga pada akhirnya ada suatu kejadian. Ya kejadian
inilah yang membuat ayahmu itu meninggal. Ketika itu perusahaan kami sedang
terjadi krisis moneter. Kami sangat membutuhkan investor. Saat itu ayahmu
ditugaskan untuk menemui investor tersebut disebuah restoran. Adzan maghrib
berkumandang. Ayahmu menyuruh investor tersebut untuk menunggu. Ya. investor
tersebut berkata iya untuk menunggu. Akan tetapi.. setelah sholat maghrib
ayahmu kembali ternyata investor tersebut menghilang. Dan laptop ayahmu itu
berisi dokumen penting dicuri. Ayahmu sungguh terkejut dan menelponku
menceritakan kejadian ini.” Tiba-tiba pak Sandi meneteskan air mata. “Tak apa
pak jika bapak tidak kuat tak usah dilanjutkan.” Aku menenagkan pak Sandi.
Akhirnya pak Sandi memutuskan untuk pulang ke rumah karena memang sudah sangat
larut malam.
Kami memang
sudah tabah menghadapi 15 tahun meninggalnya ayah. Pak Sandi juga sudah
berjanji jika beliau sudah siap beliau akan mengungkapkan semua kepada kami
berdua. Akhirnya kemarin ia memutuskan untuk datang kerumah kami. Keesokan
harinya, Pak Sandi datang kembali kerumah kami. Saat itu hari Sabtu jadi aku
libur kerja. Pak Sandi melanjutkan ceritanya. “Bu, Fikri.. saya akan
melanjutkan cerita yang kemarin..” pak Sandi berkata. Aku menjawab “Baiklah pak
silahkan..” lalu pak Sandi melanjutkan ceritanya, “Iya nak, saat itu bapak kamu
menelpon bapak. Bapak kamu sudah pasrah atas kejadian yang menimpanya saat itu.
Beliau memutuskan untuk pulang ke rumah saja. Dan saya telah di telpon bapak
kamu untuk menjemputnya. Sampai di depan restoran ternyata restoran tersebut
sudah tutup. Saya sangat terkejut melihat ayah kamu sudah tertusuk pisau dan
tergeletak di parkiran. Saya panik bu.. nak..” Ibu tiba-tiba bertanya, “Lalu,
apa yang bapak lakukan? Apa bapak diam saja?” pak Sandi menjawab “Tidak saya
langsung berteriak minta pertolongan, tetapi tidak ada seorang pun disana.
Lantas saya mencoba menopang tubuh bapak kamu dan membawanya ke rumah sakit
terdekat. Alhasil nyawa bapak kamu tidak tertolong karena kehabisan darah.”
“Innalillahi, jadi seperti itu..” ucap ibu. Kemudian aku bertanya “Pak, apakah
bapak tahu siapa dalang dibalik semua ini? Siapa yang menusukan pisau ke perut
ayah?” “Kalau yang menusukan pisau saya tidak tahu siapa persisnya, hanya saja
dia sangat cerdik sehingga tidak bisa dilacak oleh polisi. Kerjanya sangat
bersih. Sehingga polisi memutuskan untuk mengubur kasus ini” jawabnya.
Air mata ibu
yang selama ini tabah sekali dalam menghadapi ini kini menetes juga. Ibu
sesegukan. Aku menenangkan. “Bu, apa ibu kuat untuk mendengarkan semua ini?”
tanyaku kepada ibu. Ibu menggelengkan kepala dan langsung saja aku menggandeng
ibu ke kamar dan memberikan segelas air putih untuk menenangkannya. Aku berkata
pada ibu “bu, biar aku saja yang mendengarkan ini semua.” Lalu aku beralih ke
pak Sandi di ruang tamu. “bagaimana ibumu?” cemas pak Sandi. “tidak apa pak.
Hanya shock mendengar bagaimana ayah bisa meninggal.” Jawabku. Pak sandi
berkata, “Nak, sebenarnya seminggu setelah kematian ayahmu perusahaan tiba-tiba
saja normal kembali. Bapak juga bingung tetapi bapak sangat bersyukur. Malamnya
bapak kerja lembur dikantor, bapak melihat ruangan pak direktur masih menyala.
Setelah bapak lihat dari jendela, ternyata pak direktur masih diruangan. Disana
ada dua orang pemuda bertubuh atletis. Bapak mencoba menempelkan telinga bapak.
Mendengarkan lebih jelas percakapan mereka. Pak direktur memberikan amplop
tebal berisi uang. “kerja bagus kalian telah membunuhnya tanpa jejak. Kalian
sudah tidak diragukan lagi kerjanya.” Kata pak direktur saat itu yang saya
dengar. “ja.. ja.. jadi.. yang membunuh ayah pak direktur?” aku menyimpulkan.
“iya nak, pak direkturlah yang membuat semua skenarionya, dia mengada-ngada
tentang krisis moneter dan ialah yang membayar orang untuk membunuh ayahmu dan
itu sengaja dilakukan saat ba’da sholat maghrib.” Ucap pak Sandi dengan mulut
bergetar. Lalu pak Sandi melanjutkan
“maafkan bapak nak, bapak sudah coba menghubungi polisi untuk memberitahukan
kejadian ini. Namun polisi mengelak karena bukti atas kejadian ini tidak ada.
Mungkin saja pak direktur telah menyuap polisi nak. Ah sudah nak kita sudah
terlambat. Kamu sudah mengikhlaskan bukan?” aku tercengang. Ikhlas? Siapa yang
ikhlas jika ayah kandungnya dibunuh dengan kejam hanya karena kecemburuan
sosial. Aku bertanya kepada pak Sandi. “pak kalau boleh tau, siapa nama
direktur keji itu?” pak Sandi pun hening sejenak sepertinya dia berpikir keras
apakah yakin untuk memberikan nama itu kepadaku.
Namanya, pak Indra
Jaya Wardhana. Dunia terasa terbalik ketika aku mendengar nama itu. Itu adalah
nama yang sama dengan pak direktur yang menjabat di kantor ku sekarang. Dan..
dan dia adalah ayah dari perempuan yang ku taksir. Semenjak hari itu aku mulai
menghindari Nurul. Sepertinya Nurul juga bingung atas sikapku ini. Aku jadi
jarang sholat Dzuhur. Hatiku sangat sakit. Kembali ke awal. Aku mulai makan di
kantin bersama dengan Arief dan Hasan. Rasanya malas membawa bekal dari rumah.
Aku jadi malas beribadah.
Aku bangun
kesiangan lagi hari ini. Dulu ibu sempat senang aku mulai rajin beribadah.
Kini, ibu kecewa dengan ku karena mulai susah lagi bangun Shubuh. Ibu heran
dengan sikapku yang berubah. Hingga suatu hari Nurul memberanikan diri untuk
menelponku. “Assalamu’alaikum, ha.. ha.. halo? Dengan Fikri?” aku kaget
mendengar suaranya. “wa’alaikumussalam. Iya ada yang bisa dibantu?” jawabku.
Tiba-tiba Nurul menutup panggilannya. Dia wanita yang sangat terhormat. Mungkin
dia malu untuk menelpon laki-laki duluan. Pikirku saat itu. Ada apa gerangan
Nurul menelponku. Apa dia rindu? Ah tidak mungkin. Aku bukan siapa-siapa baginya.
Hari ini ada
urusan kantor mendadak. Aku lembur. Pulang jam 10 malam saat itu aku lupa
memberi kabar kepada ibu. Saat tiba dirumah ibu tertidur di sofa. Sepertinya ia
menunggu kepulanganku. Seketika aku melihat di meja depan sofa terletak sebuah
album foto. Disana ada foto ayah sedang berpakaian ihrom. Rupanya ayah sedang
umroh. Dibalik foto itu ada tulisan. “Semua lillahi ta’ala” kata-kata itu
membuat hatiku tersentak. Aku merasa sangat amat tersindir. Mengapa? Sholatku
jadi seperti ini hanya karena menghindari perempuan? Memangnya sholatku untuk
siapa? Untuk dia apa untuk Allah? Malam ini Allah telah mengingatkanku yang
jalannya lewat foto ayah ini. Tanpa terasa air mataku menetes. Aku membulatkan
tekad sesulit apapun, sesibuk apapun akan kulakukan ibadah tepat waktu. Ya. lillahita’ala.
Bukan untuknya.
Nuha Bilqisti
Tidak ada komentar