Kelaparan Bukan Penjarahan, Benarkah?
Kelaparan Bukan Penjarahan, Benarkah?
Gempa bumi berkekuatan 7,7 SR yang disusul dengan tsunami pada Jumat (28/09/2018) di kawasan Sulawesi Tengah masih menjadi perbincangan publik sampai saat ini. Pasalnya, bukan saja berkaitan dengan bencana alamnya, melainkan fenomena yang terjadi usai bencana tersebut hangat dibicarakan.
Bencana yang menewaskan hingga lebih dari 1300 jiwa ini mengakibatkan kerusakan parah khususnya di kawasan Kota Palu dan Donggala. Akibatnya banyak korban yang kehilangan keluarga, sanak saudara, rumah, bahkan harta bendanya. Bantuan logistik pun belum dapat diterima para korban secara merata dikarenakan akses yang sulit menuju lokasi bencana. Selain mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur, juga menimbulkan dampak sosial. Sebagian warga korban bencana alam itu terpaksa melakukan penjarahan di berbagai toko dan supermarket di ibu kota Sulteng tersebut.
Penjarahan yang terjadi dibeberapa titik lokasi bencana merujuk pada pengumuman Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, 30 September lalu. Ketika itu, Tjahjo menyebut masyarakat dapat mengambil bahan makanan di jejaring toko serba ada Indomart dan Alfamart.
Menkopolhukam Wiranto menepis kabar dan informasi mengenai tindakan warga Palu dan sekitarnya yang menjarah toko-toko hingga minimarket di sana. Wiranto tidak sepakat apabila tindakan warga yang terkena musibah itu disebut penjarahan, tetapi pengambilan barang karena terjadi di situasi darurat. Untuk itu, ia berharap semua pihak tidak lagi memakai istilah penjarahan yang lebih berkonotasi negatif tersebut.
Namun, bukan saja makanan dan minuman yang menjadi sasaran pelaku penjarahan, alat elektronik yang tersedia di toko setempat pun habis tak tersisa.
Dalam dunia islam, peristiwa ini sangatlah tidak dibenarkan alias diharamkan. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain“
Sikap mudharat yang dipahami dari hadits ini adalah sikap yang mementingkan diri sendiri yang berakibat terganggunya kepentingan orang lain. Seorang muslim yang baik hendaknya tetap menghargai hak milik orang lain dalam keadaaan sesulit apapun. Yakni, dalam keadaan lapang maupun sempit.
“Dari sudut pandang dulu, yang benar-benar jadi korban, mereka sibuk dengan memikirkan keluarga, rumah, dsb. Mereka tidak punya waktu berpikir yang tidak-tidak, apalagi sampai menjarah. Saat tsunami di Aceh, ada beberapa kasus penjarahan terjadi. Pelakunya, sekali lagi, dapat dipastikan bukan korban bencana. Biasanya, pelaku berasal dari perkampungan yg tidak terkena dampak tsunami. Mereka berangkat ke lokasi, berdalih membantu atau mencari korban, tetapi justru memanfaatkan situasi utk menjarah.” ujar @zoelfick, seorang warganet yang berbagi pengalamannya pada tsunami Aceh tahun 2004 silam.
Maka dari itu, hendaklah kita mengambil sikap yang cerdas dalam menanggapi kasus ini. Jangan sampai ikut menyebarkan berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jika memang ingin berpendapat, simpan saja dalam pikiran. Orang sedang berduka, yang lain sibuk berbicara. Bukan untuk apa-apa, tetapi agar tidak ada korban bencana yang dihina.
Gempa bumi berkekuatan 7,7 SR yang disusul dengan tsunami pada Jumat (28/09/2018) di kawasan Sulawesi Tengah masih menjadi perbincangan publik sampai saat ini. Pasalnya, bukan saja berkaitan dengan bencana alamnya, melainkan fenomena yang terjadi usai bencana tersebut hangat dibicarakan.
Bencana yang menewaskan hingga lebih dari 1300 jiwa ini mengakibatkan kerusakan parah khususnya di kawasan Kota Palu dan Donggala. Akibatnya banyak korban yang kehilangan keluarga, sanak saudara, rumah, bahkan harta bendanya. Bantuan logistik pun belum dapat diterima para korban secara merata dikarenakan akses yang sulit menuju lokasi bencana. Selain mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur, juga menimbulkan dampak sosial. Sebagian warga korban bencana alam itu terpaksa melakukan penjarahan di berbagai toko dan supermarket di ibu kota Sulteng tersebut.
Penjarahan yang terjadi dibeberapa titik lokasi bencana merujuk pada pengumuman Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, 30 September lalu. Ketika itu, Tjahjo menyebut masyarakat dapat mengambil bahan makanan di jejaring toko serba ada Indomart dan Alfamart.
Menkopolhukam Wiranto menepis kabar dan informasi mengenai tindakan warga Palu dan sekitarnya yang menjarah toko-toko hingga minimarket di sana. Wiranto tidak sepakat apabila tindakan warga yang terkena musibah itu disebut penjarahan, tetapi pengambilan barang karena terjadi di situasi darurat. Untuk itu, ia berharap semua pihak tidak lagi memakai istilah penjarahan yang lebih berkonotasi negatif tersebut.
Namun, bukan saja makanan dan minuman yang menjadi sasaran pelaku penjarahan, alat elektronik yang tersedia di toko setempat pun habis tak tersisa.
Dalam dunia islam, peristiwa ini sangatlah tidak dibenarkan alias diharamkan. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain“
Sikap mudharat yang dipahami dari hadits ini adalah sikap yang mementingkan diri sendiri yang berakibat terganggunya kepentingan orang lain. Seorang muslim yang baik hendaknya tetap menghargai hak milik orang lain dalam keadaaan sesulit apapun. Yakni, dalam keadaan lapang maupun sempit.
“Dari sudut pandang dulu, yang benar-benar jadi korban, mereka sibuk dengan memikirkan keluarga, rumah, dsb. Mereka tidak punya waktu berpikir yang tidak-tidak, apalagi sampai menjarah. Saat tsunami di Aceh, ada beberapa kasus penjarahan terjadi. Pelakunya, sekali lagi, dapat dipastikan bukan korban bencana. Biasanya, pelaku berasal dari perkampungan yg tidak terkena dampak tsunami. Mereka berangkat ke lokasi, berdalih membantu atau mencari korban, tetapi justru memanfaatkan situasi utk menjarah.” ujar @zoelfick, seorang warganet yang berbagi pengalamannya pada tsunami Aceh tahun 2004 silam.
Maka dari itu, hendaklah kita mengambil sikap yang cerdas dalam menanggapi kasus ini. Jangan sampai ikut menyebarkan berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jika memang ingin berpendapat, simpan saja dalam pikiran. Orang sedang berduka, yang lain sibuk berbicara. Bukan untuk apa-apa, tetapi agar tidak ada korban bencana yang dihina.
Tidak ada komentar